Nama resmi masjid ini adalah masjid Saka Tunggal Baitussalam, tapi lebih populer dengan nama masjid saka tunggal karena memang Masjid ini hanya mempunyai saka tunggal (tiang penyangga tunggal). Saka tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan empat sayap ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem, bagian bawah dari saka itu dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang terdapat tulisan tahun pendirian masjid tersebut.
Masjid saka tunggal berukuran 12 x 18 meter ini menjadi satu satunya masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad 15-16M. Sedangkan masjid ini didirikan tahun 1288M, 2 abad sebelum Wali Songo. Sekaligus menjadikan Masjid Saka Tunggal Baitussalam sebagai Masjid Tertua di Indonesia.
Lokasi Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Masjid Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Desa Cikakak, Kecamatan Wangon Banyumas
Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah
Koordinat Geografi : 7°28'26.05"S 109° 3'20.32"E
Lihat Masjid Masjid Saka Tunggal Baitussalam di peta yang lebih besar
Masjid Masjid Saka Tunggal Baitussalam berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon Banyumas. , Banyumas, Jawa Tengah, Ditengah suasana pedesaan Jawa yang begitu kental. Di kawasan masjid yang dipenuhi dengan kera-kera yang berkeliaran bebas. Di masjid ini terdapat beberapa ruang. Halaman masjid cukup luas untuk menampung beberapa kendaraan.
Di depan halaman masjid, sudah disediakan tempat berwudhu dan kamar mandi. Dari jalan raya menuju pintu gerbang masjid ini cukup jauh letaknya berada diantara rumah rumah penduduk. Kawasan ini memang sudah menjadi cagar budaya, dibelakang masjid ini terdapat komplek pemakaman tua dengan gerbangnya yang masih bertuliskan aksara Jawa. Makam yang secara rutin di ziarahi oleh warga muslim setempat.
Sejarah Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Masjid ini dibangun pada tahun 1288 Masehi sebagaimana tertulis di prasasti yang terpahat di saka masjid itu. lebih tua dari kerajaan majapahit yang berdiri tahun 1294 Masehi, masjid ini berdiri ketika masa kerajaan Singasari dan merupakan masjid tertua di indonesia.
Sejarah Masjid Saka tunggal senantiasa terkait dengan Tokoh penyebar Islam di Cikakak, bernama Mbah Mustolih yang hidup dalam Kesultanan Mataram Kuno. Itu sebabnya, tidak heran bila unsur Kejawen masih cukup melekat. Dalam syiar Islam yang dilakukan, Mbah Mustolih memang menjadikan Cikakak sebagai "markas" dengan ditandai pembangunan masjid dengan tiang tunggal tersebut. Beliau dimakamkan tak jauh dari masjid Saka Tunggal.
Tarekat Aboge
Masyarakat desa Cikakak tempat masjid Saka Tunggal Baitussalam ini berdiri seringkali menjadi pusat perhatian media masa nasional terutama di setiap penghujung bulan Ramadhan karena penetapan 1 Syawal sebagai hari pertama Idul Fitri yang tidak mengikuti penetapan pemerintah, akibatnya seringkali Muslim disana merayakan lebaran tidak berbarengan dengan muslim Indonesia lainnya.
Masyarakat muslim disini memang merupakan pengikut tarekat Aboge yang memiliki perhitungan sendiri tentang penetapan 1 Syawal. Di Desa Cikakak, sedikitnya ada 500 orang pengikut Aboge terdiri dari orang dewasa dan generasi muda dan tentu saja semua peribadatan komunal mereka diselenggarakan di Masjid Masjid Saka Tunggal ini. di dua sholat hari raya masjid ini tidak mampu menampung seluruh jemaah sekaligus, sehingga jamaah harus tumpah ruah ke halaman disekitar masjid.
Yang unik saat pelaksanaan sholat Idul Fitri adalah khutbahnya disampaikan dalam bahasa Arab dan tanpa pengeras suara, usai pelaksanaan ibadah Idul Fitri, jamaah melaksanakan pembacaan takbir, ratib, tahlil dan sholawat bersama-sama. Suara beduk dan terbang mengiringi prosesi itu. Setelah berdoa bersama-sama, prosesi silaturahmipun dilaksanakan. Jamaah yang semula berada di dalam masjid kemudian mencair dan melebur dengan warga yang berdatangan ke area kompleks Masjid Saka Tunggal. Membentuk barisan yang panjang mengelilingi area kompleks masjid, merekapun akhirnya saling berjabat tangan untuk saling memaafkan.
Usai prosesi silaturahmi, sebagian pengikut Aboge mengadakan acara kenduri slametan di dalam masjid. Usai didoakan, merekapun bersama menyantap makanan yang dibawa menggunakan 'tenong' dan rantang. Menurut tradisi Aboge, Pedoman untuk menentukan 1 Syawal, adalah Waljiro- 'Syawal Siji Loro' atau Syawal jatuh pada hari 'siji' (pertama) dari hari Sabtu dan pasaran 'loro' (kedua) dari pasaran Legi maka 1 Syawal Tahun Dal akan jatuh pada hari Sabtu Pahing.
Diketahui bahwa dalam Perhitungan Aboge dikenal siklus delapan tahunan (satu windu) yang masing-masing tahun terkenal dengan tahun Kuruf (Asal dari Bahasa Arab: Huruf). Tahun Kuruf terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir. Dari sejumlah tetua pengikut Aboge menyebutkan kesamaan rumus yang dipakai dalam menentukan tanggal, bulan dan tahun Jawa Hijriyah. Selain itu, walaupun ada yang menyebut bahwa perhitungan Aboge ini ditetapkan secara formal oleh Sultan Agung sejak abad 17 Masehi namun sejumlah pengikut Aboge menyatakan bahwa perhitungan Aboge ini telah ada sejak abad 14-15 Masehi yang disebarkan oleh sejumlah wali dan pengikutnya di daerah Banyumas.
![]() |
Kompilasi foto ekterior Masjid Saka Tunggal Baitussalam |
Tradisi Unik Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Zikir seperti melantunkan kidung jawa
Keunikan masjid saka tunggal Banyumas, benar benar terasa di hari Jum’at. Selama menunggu waktu sholat jum’at dan setelah sholat jum’at, Jamaah masjid Saka Tunggal berzikir dan bershalawat dengan nada seperti melantunkan kidung jawa. Dengan bahasa campuran Arab dan Jawa, tradisi ini disebut tradisi ura ura.
Pakaian Imam dan muazin
Imam masjid tidak menggunakan penutup kepala yang lazimnya digunakan di Indonesia yang biasanya menggunakan peci, kopiyah, tapi menggunakan udeng/pengikat kepala. khutbah jumat disampaikan seperti melantunkan sebuah kidung,
Empat muazin sekaligus
Empat orang muazim berpakaian sama dengan imam, menggunakan baju lengan panjang warna putih, menggunakan udeng bermotif batik, dan ke empat muazin tersebut mengumandangkan adzan secara bersamaan.
Semuanya dilakukan berjama’ah
Uniknya lagi, seluruh rangkaian sholat jumat dilakukan secara berjamaah, mulai dari shalat tahiyatul masjid, kobliah juma’at, shalat Jumat, ba’diah jum’at, shalat zuhur, hingga ba’diah zuhur. Semuanya dilakukan secara berjamaah.
![]() |
Interior Masjid Saka Tunggal Baitussalam |
Tanpa Pengeras Suara
Masjid Saka Tunggal Baitussalam hingga saat ini masih mempertahankan tradisi untuk tidak menggunakan pengeras suara. Meski demikian suara azan yang dilantunkan oleh empat muazin sekaligus, tetap terdengar begitu lantang dan merdu dari masjid ini.
Ritual Penjarohan
Ritual Penjarohan digelar setiap tanggal 26 Rajab di halaman Masjid Saka Tunggal, Ritual ini sebagai bentuk rasa syukur dan sekaligus haul Mbah Mustalih pendiri Masjid Saka Tunggal dan seligus perayaan ulang tahun masjid Saka Tunggal. Penjarohan berasal dari kata "jaroh", yang artinya ziarah. Intinya adalah penghormatan kepada leluhur yang telah mendirikan desa dan masjid Saka Tunggal yang sampai sekarang menjadi pusat kegiatan peribadatan dan sosial mereka. Dalam ritual itu, mereka juga memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan, kesehatan, dan rezeki yang melimpah.
Ritual Ganti Jaro, Masjid Saka Tunggal
![]() |
Kemeriahan ritual Penjarohan |
Adalah ritual mengganti pagar bambu keliling masjid saka tunggal. Ritual ini diikuti oleh seluruh warga desa Cikakak. Dalam ritual yang mereka sebut ganti Jaro Rajapine. Saat membuat pagar ada beberapa pantangan yang harus ditaati. Mereka dilarang berbicara dengan suara keras serta tidak boleh menggunakan alas kaki. Sehingga yang terdengar hanya pagar bambu yang dipukul. Karena melibatkan ratusan warga, hanya dalam waktu 2 jam pagar sepanjang 300 meter ini selesai.
Selain bermakna kebersamaan dan gotong royong, tradisi ganti Jaro Rajab ini bagi warga di sini dipercaya bisa menghilangkan sifat jahat dari diri manusia. Pagar bambu ini selain mengelilingi Masjid Saka Tunggal juga makam Nyai Toleh. Seorang penyebar agama di Banyumas. Sejumlah utusan dari kraton Surakarta dan Ngayogjogkarta Hadiningrat ikut ambil bagian dalam acara ini dengan memanjatkan doa di makam, sebagai rasa syukur.
Ritual ganti Jaro Rajab ini kemudian diakhiri dengan prosesi arak arakan 5 gulungan yang berisi nasi tumpeng ini kemudian diperebutkan warga karena dipercaya bisa memberikan berkah.
Arsitektur Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api, angin, air, dan bumi. Saka tunggal itu perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok, jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia.
![]() |
Sholat Idul Fitri di Masjid Saka Tunggal Baitussalam |
Empat mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang,”
Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia.
![]() |
Gerbang menuju ke komplek Masjid Saka Tunggal |
Keaslian yang masih terpelihara adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.
Kekhasan yang lain adalah atap dari ijuk kelapa berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Tempat wudu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.
Renovasi dan Benda Benda Peninggalan
Sejak tahun 1965 masjid ini sudah dua kali dipugar. Selain dinding tembok, juga diberi dinding anyaman bambu serta lapisan atap seng, Meski sebagian dinding telah direhab dengan tembok, tetapi arsitektur masjid tetap tidak diubah. Sehingga tidak ada perbedaan bentuk yang berarti dari awal berdiri hingga sekarang. Sedangkan tiang dari kayu jati yang menopang bangunan utama masjid dengan ukuran masih terlihat begitu kokoh. Selama ratusan tahun berdiri, warga dan jamaah di Cikakak sama sekali tidak mengganti bangunan utama yang ada di tempat itu, kecuali hanya membangun tembok sekeliling masjid sebagai penopang. Barang lainnya yang sampai sekarang masih tetap rapi dan dipelihara di antaranya adalah bedug, kentongan, mimbar masjid, tongkat khatib dan tempat wudlu.
Status Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Sebagaimana tertulis dalam papan peringatan di sekitar masjid, tertulis bahwa, Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Desa Cikakak, Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya/Situs dengan nomor 11-02/Bas/51/TB/04 dan dilindungi undang undang RI No. 5 tahun 1992 dan PP nomor 10 tahun 1993.
Updated : 20 Agustus 2012
Referensi
mlente.wordpress.com - Masjid Saka Tunggal Cikakak
http://wiedpatikraja.blogspot.com - Masjid Saka Tunggal
indosiar.com - Gelar Ritual Ganti Jaro, Masjid Saka Tunggal Dipadati Warga
wongaboge.blogspot.com - Warga Saka Tunggal Gelar Ziarah Jelang Ramadhan
wongaboge.blogspot.com - sabtu-pahing-pengikut-aboge-lebaran
veronicasetiawati.blogspot.com - berkelana-di-kota-satria
nasional.kompas.com - Penjarohan, Ritual Unik Desa Cikakak
semua foto diambil dari situs situs yang disebut di atas
0 Response to "Masjid Tertua Indonesia Ini Berdiri Sebelum Ada Wali Songo"
Posting Komentar